Sunday, April 20, 2025

Bulan Juli Tahun 1999

 

Tahun ini adalah tahun yang sangat berarti bagiku. Terjadi banyak kejadian ada yang senang juga ada yang sedih. Setahun yang lalu aku baru saja lulus SD. Nilaiku bagus sehingga aku dengan mudah diterima di SMP yang aku inginkan. Dari dulu aku ingin sekolah di SMP yang dekat saja sehingga kalau berangkat tidak perlu bangun pagi-pagi. Sebenarnya aku sedih karena lulus SD. Aku sebenarnya tidak mau perpisah dengan sekolahku, teman-temanku juga guru-guruku. Waktu pengumuman kelulusan dulu aku malah menangis.

Beberapa bulan kemarin bapakku sakit beberapa hari kemudian meninggal. Sebelumnya aku tidak menduga kalau bapakku akan meninggal. Beberapa kali bapakku sakit bahkan sampai lebih dari sebulan tapi tidak meninggal. Aku sebenarnya juga tidak tau bapakku sakit apa. Katanya sakit perut tapi aku tidak tau juga jelasnya. Aku sebenarnya tidak merasa sedih ketika bapakku meninggal. Waktu itu aku merasa biasa saja. Aku cuma merasa aneh karena orang-orang disekitarku tiba-tiba tidak seperti biasanya. Aku merasa diperlakukan aneh oleh saudara-saudaraku juga tetanggaku. Entah kenapa meraka tiba-tiba jadi sayang kepadaku padahal aku tidak ingin disayang-sayang. Tiap berangkat ke sekolah tetangga-tetangga jadi lebih sering menyapaku daripada biasanya. Aku juga sering dikasih uang sama mereka. Aku sungguh bingung dan tidak tau apa yang sebenarnya terjadi.

Seminggu yang lalu aku menerima raport. Aku naik kelas dua SMP. Aku dapat rangking dua. Sebenarnya prestasiku sangat bagus karena aku ada di kelas A. Rangking dua di kelasku sama saja rangking dua secara peralel untuk lima kelas karena kelas satunya ada lima. Tapi aku juga tidak terlalu senang. Aku merasa biasa-biasa saja karena aku juga tidak terlalu menginginkan dapat rangking yang bagus. Aku belajarnya juga sekadarnya saja tidak terlalu rajin.

Hari ini aku berangkat ke sekolah karena ada pembagian kelas. Seperti biasanya jika besok senin hari pertama sekolah hari sabtu sebelumnya pembagian kelas. Aku berangkat sendiri naik sepeda. Aku begitu semangat mau melihat kelasku yang baru karena senin besoknya aku tidak akan berangkat sekolah. Besok minggu malam senin aku mau disunat. Memang waktunya agak aneh karena kalau mau, dua minggu sudah aku libur. Tapi karena sudah dicarikan hari yang baik, maka sunatnya baru besok malam. Ibuku tidak berani untuk tidak mengikuti harinya itu karena selain untuk menghormati yang mencarikan hari juga karena waktunya berdekatan dengan meninggalnya bapakku. Sebagai anak kecil aku hanya bisa mengikutinya saja. Menurut perkiraanku aku butuh tidak masuk sekolah selama tiga hari. Jika semua lancar harusnya hari kamis aku sudah bisa berangkat sekolah.

Sesudah magrib tadi, aku bersiap-siap berangkat. Aku memakai sarung dan baju lengan panjang. Aku juga pertama kali memakai sarung sambil memakai celana dalam. Biasanya aku tidak pernah memakai celana dalam. Jika memakai sarung biasanya aku memakai celana pendek didalam. Sebelum berangkat aku disuruh sholat dulu. Aku kemudian disuruh pamitan ke ibuku. Aku merasa melakukan ritual yang agak aneh karena aku jarang melakukannya kecuali kalau mau pergi jauh. Lagi pula aku merasa ibuku pasti sudah tau karena rencana mau sunat juga sudah direncanakan jauh-jauh hari.

Aku diantar naik mobil vw combi milik saudaraku. Mobil berwarna putih itu sudah biasa aku naiki jika pergi bersama saudara-saudaraku. Aku duduk di depan. Aku diantar banyak orang yang duduk dibelakang tapi aku tidak memperhatikan mereka siapa saja. Tempat yang aku tuju aku juga sudah tau. Beberapa hari yang lalu aku sudah diajak kesana sama ibuku. Jaraknya dari rumahku juga tidak terlalu jauh. Jika naik mobil pribadi kurang dari setengah jam sudah sampai.

Sampai disana ternyata ramai sekali. Mungkin satu anak diantar lebih dari 10 orang. Aku kemudian disuruh masuk sendirian ke ruangan pertama. Ruangan pertama tersebut sudah aku kenal karena beberapa waktu lalu waktu kesini bersama ibuku, aku masuk di ruangan itu. Diruangan pertama terdapat meja dan tempat tidur yang tinggi. Diatas tempat tidur terdapat lampu yang sangat terang. Mungkin disini tempatnya anak-anak disunat. Setelah memasuki ruang pertama aku masuk keruang kedua. Diruang tersebut ada dua anak yang mau disunat juga. Keduanya masih kecil-kecil mungkin baru kelas tiga atau empat. Diruang itu juga terdapat anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil. Kemungkinan dua anak itu anaknya yang punya rumah. Disitu juga terdapat televisi dan juga mainan sejenis nitendo atau apa aku tidak paham. Anaknya punya rumah tampak sedang bermain disitu. Satu persatu anak yang mau disunat itu disuruh masuk ke ruang ketiga untuk disuntik. Waktu anak yang kedua masuk, aku mendengar anak itu berteriak kesakitan. Memang kata temanku yang sudah disunat disuntiknya memang lebih sakit daripada disunatnya. Waktu keluar anak tersebut terlihat terisak-isak.

Giliran ketiga aku disuruh masuk ke dalam ruang ketiga. Diruang ketiga terdapat tempat tidur yang rendah. Aku kemudian disuruh tidur disitu. Posisi tidurku kepala berada di jauh pintu sedangkan kaki mengarah ke pintu yang menuju ruang kedua. Sarungku tidak dilepas tetapi celana dalamku disuruh lepas. Celana dalamku kemudian aku kantongi. Kedua kakiku disuruh mekangkang. Pintu tidak ditutup sehingga kemaluan bisa dilihat dari ruang kedua. Sebenarnya aku merasa malu tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku disuruh menutupi mukaku dengan sarung yang aku pakai. Mungkin maksudnya biar tidak melihat jarum suntiknya. Mungkin banyak anak yang takut jarum suntik. Karena mataku tertutup sarung aku jadi tidak bisa melihat apa-apa. Pikirku anak-anak yang berada di ruang kedua pasti pada melihat kemaluanku karena pintunya tidak ditutup dan posisi kakiku menghadap pintu. Aku mulai siap-siap untuk disuntik. Aku yakin aku tidak akan menangis seperti anak yang sebelumku. Lagi pula aku malu kalau sampai menangis karena aku sudah besar sendiri. Ternyata orang yang mau menyuntik justru tidak jadi. Dia terkejut dengan bentuk kemaluanku yang aneh. Katanya kemaluanku mirip ulo demung yang artinya ular kobra jika dibahasa indonesiakan. Aku sangat kebingungan karena memang aku tidak pernah melihat kemaluan teman seusiaku. Sejak kecil aku memang tidak seperti anak-anak biasanya. Jika anak-anak yang lain suka pipis sembarangan, aku tidak pernah melakukannya. Jika pipis aku selalu di kamar mandi dan sambil jongkok. Aku juga tidak mau melihat kemaluan teman-temanku karena katanya dosa. Setahuku kemaluan yang normal ya seperti itu karena aku hanya pernah melihat punyaku sendiri saja. 

Orang yang mau menyuntikku kemudian keluar. Dia meninggalkanku cukup lama. Aku dengar anak-anak yang lain ada yang masuk ke ruang ketiga. Mereka terdengar berbisik-bisik membicarakan sesuatu. Aku yakin mereka sedang membicarakan kemaluanku. Aku sempat berpikiran untuk menutupi kembali kemaluanku dengan sarung yang aku kenakan tapi aku takut karena tidak ada perintah dari orang yang mau menyuntikku tadi. Aku terus menutupi mukaku tengan sarung sehingga bagian perut kebawah terbuka. Aku berusaha menerawang dari balik kain sarung tetapi kain sarungnya terlalu tebal dan aku gagal melihat keadaan sekitar.

Setelah beberapa saat orang yang mau menyuntikku datang bersama orang yang lain. Aku disuruh buka muka karena mau ditanya. Kemaluanku ditarik keatas ujungnya kemudian ditunjukkan kalau lubangnya ada dua. Sejak dulu aku sudah tau kalau di kemaluanku ada dua lubang tetapi aku tidak tau yang bagian pangkal lubang itu buat apa. Aku berpikir mungkin sunatnya harus ditunda, mungkin juga kemaluanku memang tidak memungkinkan untuk disunat disini. Bisa jadi aku harus sunat di rumah sakit yang punya peralatan yang canggih, atau mungkin harus dioperasi juga untuk menutup lubangnya yang satu atau entah gimana. Aku berpikir bagaimana jadinya jika aku benar-benar tidak jadi disunat. Sejak kemarin rumahku sudah didatangi saudara-saudaraku. Mereka sudah memasak banyak makanan yang mungkin sudah dibagikan juga ke saudaraku baut selamatan. Jika malam ini aku tidak jadi disunat pasti semuanya akan sia-sia. Jika besoknya aku mau disunat lagi pasti juga akan keluar biaya dua kali. Belum lagi orang-orang pasti pada bertanya kenapa kok aku jadi batal disunat. Pertanyaan seperti itu bisa membuat bentuk kemalauanku tidak normal bisa menyebar ke mana-mana. 

Mataku mulai berkaca-kaca. Lubang yang bagian pangkal kemaluanku ditusuk-tusuk. Mungkin karena mau melihat lubang tersebut tembus atau tidak. Aku juga ditanya kalau pipis lewatnya lubang yang mana. Sambil menangis aku menjawab jika pipis lewat lubang yang ujung. Orang yang satu kelihatan tidak percaya. Aku menawarkan kalau mau dicoba pipis tapi tidak jadi dicoba. Setelah berdiskusi lama akhrinya aku jadi disuntik. Aku disuruh menutup muka kembali dengan sarung. Tak lama kemudian aku merasakan jarum suntik beberapa kali menembus pangkal kemaluanku bagian atas. Selang beberapa waktu jarum suntik kembali menembus pangkal kemaluanku, kali ini ganti bagian bawah. Aku sedikit lega karena rencana sunatku tidak gagal. Aku kemudian merapikan kembali sarung yang aku pakai. Celana dalam tidak aku pakai lagi tapi cuma aku kantongi. Aku pun kembali ke ruangan kedua.

Sempai diruangan kedua aku jadi tertawaan anak-anak yang lain karena belum disuntik sudah nangis duluan padahal aku anak yang paling besar. Sebenarnya aku nangis bukan karena takut disuntik tapi karena sedih. Aku hanya diam dan tidak menaggapi perkataan anak-anak yang lain. Diruangan tersebut aku hanya duduk sambil menunduk karena tidak berani melihat kemana-mana.

Setelah menunggu beberapa saat akhirnya aku dipanggil untuk menuju ke ruangan pertama. Dua anaknya yang punya rumah mau ikut melihat, tetapi yang perempuan tidak diperbolehkan ikut melihat. Sampai disitu aku lalu naik ke tempat tidur yang tinggi. Kepalaku berada di dekat meja sedangkan kaki dekat jendela. Anak yang ikut masuk tadi begitu antusias mau melihat. Dia naik ke tempat tidur dan melompatiku. Dia duduk diatas tempat tidur mepet tembok hingga kepalanya hampir membentur lampu. Salah satu orang yang ada disitu keluar untuk memanggil orang tuaku. Karena aku tidak ditemani orang tuaku akhirnya salah satu kakak iparku yang masuk. Sarungku kemudian dibuka. Aku sudah tidak pakai celana dalam lagi, sehingga kemaluanku kelihatan. Katanya kemaluanku sangat bersih tidak seperti anak-anak yang lain. Kulit bagian ujungnya juga mudah dibuka dan tidak lengket.  Anaknya yang punya rumah yang ikut melihat diminta untuk melepas celananya sebagai perbandingan. Ternyata benar kemaluanku bentuknya beda sama punya dia. Bagian ujung kemaluanku agak membengkok dan lubang diujungnya agak kebawah. Bagian pangkalnya juga beda, karena punyaku tidak nempel keatas melainkan agak turun ke bawah. Bagian bawah pangkalnya ada selaputnya yang terhubung sama kantong telurnya, dan tentunya lubang di bagian pangkal bawah tidak ditemukan di kemaluan anak itu.

Kakiku kemudian dilebarkan sedikit untuk memperoleh posisi yang nyaman. Kulit kemaluanku mulai dipotong. Aku memang tidak merasa sakit karena sudah disuntik bius lokal. Yang aku rasakan hanya geli-geli sedikit saja. Katanya burungku dirapikan agar jadi bagus. Mungkin bapak yang menyunat cuma bercanda saja, tapi bisa juga memang beneran. Setelah dipotong bagian bawahnya juga dijahit. Katanya agak susah tidak seperti anak yang lainnya karena bagian bawah ujung kemaluanku bentuknya agak terbelah. Setelah selesai ujung kemaluanku diperban melingkar. Katanya perbannya juga susah karena posisi lubang yang untuk pipis tidak berada diujung melainkan di bagian bawah ujung yang terbelah. Jika tidak hati-hati katanya nanti aku jadi tidak bisa pipis karena lubangnya tertutup perban. Dia juga cerita katanya aku beruntung karena disunat orang yang sudah berpengalaman. Setelah selesai diperban aku memakai celana dalam lagi. Ternyata bapak yang menyunatku lucu juga. Ketika mau pulang peciku dimiringkan sedikit katanya biar seperti pak Habibie. Dia juga menertawakan caraku berjalan.

Aku keluar ruangan pertama kemudian berjalan menuju mobil. Sampai dimobil aku duduk di depan lagi. Mobil mulai bergerak pulang. Dalam perjalanan pulang aku tidak banyak bicara. Aku cuma satu kali bicara ketika kakak iparku bertanya tentang bentuk kemaluanku tadi. Aku menjawabnya dengan nada tinggi dan akhirnya kakak iparku menghentikan pembicaraanya. Untung saja tidak sampai memancing pembicaran orang orang yang lain. Disatu sisi aku merasa lega karena aku sudah berhasil disunat tapi di sisi lain aku jadi punya pikiran macam macam tentang nasibku ke depan.

Tak terasa mobil sudah sampai di jalan depan rumahku. Memang mobil tidak memungkinkan masuk gang dan sampai depan rumah. Ibuku ternyata ikut menjemput ke mobil dan menawarkan naik becak kalau misal tidak kuat. Aku menolak karena aku masih bisa jalan sendiri. Aku kemudian menuju ke kamar paling depan. Aku tidur disitu. Sebelum aku tidur banyak orang yang menjengukku ke kamar. Malam itu aku benar benar susah tidur. Aku bukan susah tidur karena rasa sakit habis disunat. Aku jadi berpikiran kalau kejadian beberapa jam lalu mungin bisa berefek sampai berpuluh puluhtahun ke depan.




[fiksi] Batal Sunat

Hari ini aku bangun agak siang. Seperti biasa aku mandi. Kali ini aku mandi sendirian karena anak-anak yang lain sudah pada berangkat sekolah. Kamar mandinya terasa lega. Biasanya kalau masuk sekolah mandinya bersama-sama kadang empat orang kadang sampai delapan anak. Di panti asuhan tempatku tinggal kamar mandinya tidak bersekat-sekat seperti biasanya. Kamar mandinya berupa ruangan panjang dan ditengahnya ada bak mandinya yang diisi air dan bentuknya memanjang juga. Jika sedang mandi anak-anak telanjang semua. Karena sudah terbiasa anak-anak di sini tidak merasa malu. Aku jadi tau tititnya semua anak disini. Bahkan tititnya Kak Andre yang sudah SMA aku tau juga.

Selesai mandi aku berlari ke depan mengambil handuk yang masih dijemuran karena tadi malam lupa diambil. Ambilnya harus cepat-cepat. Tititku juga harus dipegangi biar tidak kelihatan orang lewat. Panti asuhan tempatku tinggal tidak ada pagarnya dan depannya juga jalan yang ramai. Sebenarnya aku tidak benar benar malu tapi cuma pura pura saja.

Aku masuk dan memakai baju dan sarung yang sudah dikasih dari panitia festifal khitan. Bajunya ternyata kekecilan. Maklum aku adalah peserta yang paling besar. Aku sekarang sudah kelas 1 SMP dan sebentar lagi naik kelas. Celana dalamnya kekecilan parah dan tidak muat aku pakai. Untung saja sarungnya muat. Aku mencoba memakai sarung tanpa pakai celana. Aku jadi kepikiran gimana kalau tititku kelihatan pas disuruh lepas sarung. Gimana kalau aku pinjam celana dalamnya Kak Andre. Tapi dia sudah berangkat sekolah. Tapi kenapa harus malu kan nantinya tititku dibuka juga. Setelah aku pikir-pikir akhirnya aku mantap tidak pakai celana dalam.

Aku berangkat ke kantor kecamatan ditemani bapak pengasuhku. Walaupun cuma dekat tapi naik mobil. Sampai disana ramai sekali. Lapangan sebelah kantor kecamatan dikasih tenda memanjang sebelah timurnya. Terlihat juga banyak anak-anak berseragam putih merah berada di situ. Memang hari ini hari senin dan minggu kemarin selesai ulangan semester. Anak-anak dari dua SD sebelah pasti tidak ada pelajaran. Mereka pasti pada penasaran ingin melihat festival khitan yang hanya satu tahun sekali.

Setelah mendaftar dan dikasih nomor urut aku duduk menunggu. Tepat jam 9 acara dimulai. Dari 35 peserta yang berasal dari panti asuhan di seluruh kotaku tinggal, peserta di bagi jadi lima kelompok berdasarkan umur. Karena aku peserta paling tua tentu saja aku masuk kelompok 5. Di awal acara ada pengumuman agar anak-anak SD perempuan yang dibawah kelas 4 diminta menulis nama di sebuah kertas katanya nanti mau dipilih lima anak yang jadi juri. Aku tidak tau maksudnya karena baru kali ini melihat ada festival khitan.

Ternyata benar seperti ceritanya Kak Andre. Satu kelompok yang berisi 7 anak disuruh telanjang. Kemudian undian anak perempuan diambil satu. Anak perempuan itu kemudian diminta memilih anak yang punya titit paling besar. Anak yang punya titit paling besar kemudian diberi hadiah. Sampai kelompok ke 4 tititnya anak-anak semua normal normal saja.

Sekarang sampai ke kelompok ke 5 yang aku masuk di dalamnya. Setelah melepas semua pakaian aku naik ke atas panggung bersama anak-anak yang lain. Aku pura-pura malu. Tititku aku tutupi pakai tangan. Setelah diminta membuka, aku baru membukanya. Orang orang yang melihat pada tertawa. Tititku memang tidak seperti punya anak-anak lainnya. Ukurannya sangat kecil dan tidak ada telurnya dua. Badanku yang gendut membuat aku seperti tidak punya titit karena ambles dan yang muncul ujungnya sedikit. Aku jelas tidak menerima hadiah. Jika dibandingkan anak-anak kelompok 1 pun tititku masih lebih kecil. Turun dari panggung, tititku aku tutupi lagi pakai tangan. Aku kemudian duduk untuk menunggu giliran. 

Aku terkejut karena aku dipanggil duluan padahal aku dapat nomor urut 13. Panggilan kedua baru peserta urutan 1. Lebih terkejut lagi karena panitia mengulangi panggilan untuk pengasuh yang mendampingiku. Aku kepanitia bersama anak urutan 1. Aku mulai merasa ada yang aneh. Anak yang lain diarahkan untuk naik ke atas tempat tidur sedangkan aku tidak padahal tempat tidurnya ada banyak. Aku justru disuruh berdiri di atas kursi. Tanganku yang tadinya menutupi tititku disuruh taruh dibelakang. Aku mulai dikerumuni banyak orang termasuk anak-anak SD. Bapak dokter datang dengan terburu-buru. Dia kemudian mulai memeriksa tititku. Ujungnya ditarik-tarik sampai aku merasa sakit. Bagian bawahnya juga diraba raba mungkin mau mencari telurnya. Dokter itu kemudian mencari pengasuhku dan mengajaknya pergi. Aku ditinggalkan begitu saja. Semakin lama semakin banyak orang yang mengerumuniku. Aku tidak berani merubah posisi tanganku apalagi turun dari kursi. Aku sedih karena tititku jadi tontonan. Aku mulai meneteskan air mata tapi aku tidak mau menangis. Melihat aku mau menangis, salah seorang bapak-bapak menyuruhku turun dan membubarkan kerumunan orang. Aku segera duduk sambil menyilangkan kakiku biar tititku tidak kelihatan.

Setelah lama ditunggu-tunggu pengasuhku datang bersama seorang panitia. Katanya aku tidak jadi disunat karena tititnya terlalu kecil. Aku disuruh pakai baju lagi dan pulang. Mendengar berita itu aku hanya bisa menangis.

Aku menolak memakai pakaian. Aku sudah tidak peduli lagi jadi tontonan anak-anak SD. Sambil menangis aku menuju mobil yang diparkir dekat jalan. Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Aku merasa sedih karena aku tidak seperti anak-anak yang lain. Ketika lahir ibuku meninggal sehingga aku tidak pernah melihat ibuku. Aku diasuh ibu tiriku. Ibu tiriku sering memarahiku terlebih ketika aku sudah punya adik. Jika melakukan kesalahan aku sering dikunci di dalam kamar mandi. Ayahku sebenarnya sangat menyayangiku, tapi dia selalu pergi bekerja sehingga jarang menemaniku. Tapi sayang dia meninggal ketika aku kelas 4 SD. Aku masih ingat kejadian malam itu. Waktu itu aku pulang piknik. Dalam perjalanan pulang entah kenapa aku tidak sengaja menumpahkan sayur di jok belakang mobil hingga mengenai adik perempuanku yang saat itu masih TK kecil. Ibu tiriku marah sehingga aku disuruh keluar mobil dan masuk ke dalam bagasi. Baru beberapa saat berjalan aku mendengar dentuman yang sangat keras. Tubuhku terjepit hingga kakiku patah tulang. Aku sebenarnya saat itu pingsan dan baru sadar waktu di rumah sakit. Karena luka yang cukup parah aku berbulan bulan dirawat di rumah sakit. Sebegitu lamanya hingga aku tidak naik kelas dan mengulang kelas 4 lagi. Waktu aku sudah sembuh aku baru tau jika malam itu mobil yang dikemudikan ayahku kecelakaan. Aku baru tau juga kalau ayahku meninggal beserta adikku juga ibu tiriku.

Sejak kejadian itu aku tinggal di panti asuhan. Di panti asuhan aku selalu diejek anak-anak yang lain. Katanya aku banci karena tititku kecil dan tidak bisa pipis sambil berdiri. Setiap kali mandi aku selalu diintip oleh anak-anak yang lain. Aku hanya beberapa minggu di situ sebelum dipindahkan ke panti asuhan yang lain. Di panti asuhan kedua kondisinya lebih buruk. Selain diejek banci aku juga sering ditelanjangi anak-anak yang lebih besar. Biasanya tanganku dipegangi kemudian celanaku dilepas paksa. Kalau sudah berhasil aku dibawa ke panti sebelah yang penghuninya anak perempuan. Yang paling parah aku pernah ditelanjangi waktu sedang tidur dan tititku dikasih balsem. Aku berakhir tinggal di situ ketika aku nekat kabur. Aku dibawa ke kantor polisi ketika ditemukan pingsan di depan sebuah toko. Sejak itu aku tinggal di panti asuhan yang sekarang.

Waktu awal-awal tinggal aku diajari pengasuhku agar percaya diri dan tidak malu. Aku diajari mandi bersama-sama dengan anak yang lain. Awalnya aku malu tapi setelah terbiasa asyik juga. Anak-anak yang lain jadi tidak penasaran dengan titiku. Aku jadi bisa melihat tititnya anak-anak yang lain juga. Aku juga diajari pipis sambil berdiri biar seperti anak-anak yang lain. Di depan panti ada selokan. Anak-anak yang masih kecil biasanya pipis disitu. Sejak bisa pipis sambil berdiri aku jadi suka ikutan pipis di situ walaupun aku sudah besar. Sore hari kadang anak-anak yang masih kecil bermain air sambil telanjang di depan panti. Aku sering ikutan main sambil telanjang juga seperti anak kecil. Pengasuhku juga tidak pernah melarang.

Tak terasa aku sudah sampai di panti asuhan yang jadi tempat tinggalku sekarang. Kondisinya masih sepi karena anak-anak yang lain belum pulang sekolah. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengambil celana pendek di dalam lemari. Aku tidak segera memakai celana. Aku pandangi bekas luka dipahaku. Kemudian aku mengalihkan pandangan ke tititku. Aku masih merasa sedih jika ingat kejadian yang aku alami dulu. Pikirku aku mungkin lebih baik jika ikut mati saja dulu waktu kecelakaan mobil. Atau mungkin lebih baik lagi jika aku tidak pernah dilahirkan. Aku kembali menangis sampai akhirnya tertidur.